Rabu, 04 Desember 2013

sejarah sebagai seni

Sejarah dapat berperan sebagai seni yang mengedepankan nilai estetika. Jadi, sejarah dalam hal ini bukanlah dipandang dari segi etika atau logika. Menurut pemikiran Dithley, seorang sejarawan dan filsuf modern, sejarah adalah pengetahuan tentang cita rasa. Sejarah tidak saja mempelajari segala yang bergerak dan berubah yang tampak dipermukaan, namun juga mempelajari motivasi yang mendorong terjadinya perubahan itu bagi si pelaku sejarah. Ia mempelajari suatu proses dinamis kehidupan manusia yang di dalamnya terlihat adanya hubungan sebab-akibat yang lumayan rumit. Dithley meragukan teori yang diungkapkan Comte, Mills, dan Spencer yang menyatakan bahwa metode ilmu alam dapat dipergunakan dalam mempelajari sejarah tanpa modifikasi berkelanjutan.

Memang benar bahwa sejarah dapat digali melalui metode ilmiah. Akan tetapi, sejarah itu sendiri memiliki jiwa atau roh, yang tak lain adalah jiwa yang terdapat dalam diri manusia sebagai pelaku sejarah. Jiwalah yang merupakan nyala api manusia dalam kehidupannya. Pendekatan terhadap jiwa sejarah ini hanya dapat dilakukan oleh seni. Jika suatu peristiwa sejarah tak dapat lagi dibuktikan melalui metode ilmiah maka seorang sejarawan diharapkan mampu mengungkap apa yang tersirat dalam peristiwa itu melalui daya imajinasi. Imajinasi ini sangat diperlukan dalam menginterpretasikan sejarah ketika data-data, jejak-jejak, dan informasi sejarah dirasa belum cukup dalam menafsirkan peristiwa sejarah.

Melalui pendekatan seni, fakta sejarah akan menjadi lebih hidup dan bernyawa. Kita pun akan lebih menghayati kejadian sejarah, dapat lebih menghargai tokoh atau manusia yang terjun langsung dalam tragedi dan peristiwa sejarah. Kita bisa lebih menghayati momentum sejarah, misalnya, dengan membaca sastra-sejarah (biasanya dalam bentuk novel, roman).

Misalnya dengan membaca novel Arus Balik karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang menceritakan perubahan politik yang terjadi di Nusantara pada masa Kerajaan Demak mendominasi Kepulauan Nusantara, ketika bangsa Portugis (Peringgi) telah menguasai Selat Malaka. Meskipun tokoh utama dalam novel ini (Wiranggaleng dan Idayu) bersifat fiktif, namun sebagian tokoh lainnya adalah pelaku sejarah yang nyata. Dengan membaca novel- sejarah, kita juga akan membaca sejarah sebagai kisah dan peristiwa, di samping sebagai seni tentunya. Sejarah sebagai seni dapat menuntun kita kepada realitas bahwa pelaku sejarah adalah manusia juga seperti kita yang memiliki rasa cinta, persahabatan, tanggung jawab sebagai individu dan selaku warga negara. Melaluinya kita dapat melihat pula kelemahan, rasa takut, sedih, dan kecewa dari mereka para pelaku sejarah. Dengan demikian, sejarah akan menjadi sajian yang kering bila tanpa seni, untuk itu sejarawan memerlukan unsur-unsur seni berupa: intuisi (ilham), yaitu pemahaman langsung dan insting selama masa penelitian berlangsung. Imajinasi yang mempunyai arti bahwa sejarawan harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sedang terjadi dan apa yang terjadi sesudah itu. Emosi dengan perasaan sejarawan diharapkan dapat mempunyai empati untuk menyatukan perasaan dengan objeknya. Sejarawan diharapkan bisa menghadirkan peristiwa sejarah seolah-olah mengalami peristiwa sejarah tersebut, sebagai contoh ketika perasaan ini diungkapkan ketika sejarawan menuliskan sejarah tentang revolusi semasa perang kemerdekaan dapat mewariskan nilai-nilai perjuangan bangsa. Gaya Bahasa, dengan gaya bahasa yang baik dalam arti tidak sistematis dan berbelit-belit akan sangat dimengerti, gaya bahasa juga digunakan terkait dengan penggunaan bahasa pada zaman tertentu seperti di zaman Orde Lama yang akrab dengan kata-kata progresif revolusioner, ganyang, marhaenisme, nasakomisasi.

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar