Sejarah dapat berperan sebagai
seni yang mengedepankan nilai estetika. Jadi, sejarah dalam hal ini
bukanlah dipandang dari segi etika atau logika. Menurut pemikiran
Dithley, seorang sejarawan dan filsuf modern, sejarah adalah pengetahuan
tentang cita rasa. Sejarah tidak saja mempelajari segala yang bergerak
dan berubah yang tampak dipermukaan, namun juga mempelajari motivasi
yang mendorong terjadinya perubahan itu bagi si pelaku sejarah. Ia
mempelajari suatu proses dinamis kehidupan manusia yang di dalamnya
terlihat adanya hubungan sebab-akibat yang lumayan rumit. Dithley
meragukan teori yang diungkapkan Comte, Mills, dan Spencer yang
menyatakan bahwa metode ilmu alam dapat dipergunakan dalam mempelajari
sejarah tanpa modifikasi berkelanjutan.
Memang benar bahwa sejarah dapat digali melalui metode ilmiah. Akan
tetapi, sejarah itu sendiri memiliki jiwa atau roh, yang tak lain adalah
jiwa yang terdapat dalam diri manusia sebagai pelaku sejarah. Jiwalah
yang merupakan nyala api manusia dalam kehidupannya. Pendekatan terhadap
jiwa sejarah ini hanya dapat dilakukan oleh seni. Jika suatu peristiwa
sejarah tak dapat lagi dibuktikan melalui metode ilmiah maka seorang
sejarawan diharapkan mampu mengungkap apa yang tersirat dalam peristiwa
itu melalui daya imajinasi. Imajinasi ini sangat diperlukan dalam
menginterpretasikan sejarah ketika data-data, jejak-jejak, dan informasi
sejarah dirasa belum cukup dalam menafsirkan peristiwa sejarah.
Melalui pendekatan seni, fakta sejarah akan menjadi lebih hidup dan
bernyawa. Kita pun akan lebih menghayati kejadian sejarah, dapat lebih
menghargai tokoh atau manusia yang terjun langsung dalam tragedi dan
peristiwa sejarah. Kita bisa lebih menghayati momentum sejarah,
misalnya, dengan membaca sastra-sejarah (biasanya dalam bentuk novel,
roman).
Misalnya dengan membaca novel Arus Balik karya sastrawan Pramoedya
Ananta Toer, yang menceritakan perubahan politik yang terjadi di
Nusantara pada masa Kerajaan Demak mendominasi Kepulauan Nusantara,
ketika bangsa Portugis (Peringgi) telah menguasai Selat Malaka. Meskipun
tokoh utama dalam novel ini (Wiranggaleng dan Idayu) bersifat fiktif,
namun sebagian tokoh lainnya adalah pelaku sejarah yang nyata. Dengan
membaca novel- sejarah, kita juga akan membaca sejarah sebagai kisah dan
peristiwa, di samping sebagai seni tentunya. Sejarah sebagai seni dapat
menuntun kita kepada realitas bahwa pelaku sejarah adalah manusia juga
seperti kita yang memiliki rasa cinta, persahabatan, tanggung jawab
sebagai individu dan selaku warga negara. Melaluinya kita dapat melihat
pula kelemahan, rasa takut, sedih, dan kecewa dari mereka para pelaku
sejarah. Dengan demikian, sejarah akan menjadi sajian yang kering bila
tanpa seni, untuk itu sejarawan memerlukan unsur-unsur seni berupa:
intuisi (ilham), yaitu pemahaman langsung dan insting selama masa
penelitian berlangsung. Imajinasi yang mempunyai arti bahwa sejarawan
harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sedang
terjadi dan apa yang terjadi sesudah itu. Emosi dengan perasaan
sejarawan diharapkan dapat mempunyai empati untuk menyatukan perasaan
dengan objeknya. Sejarawan diharapkan bisa menghadirkan peristiwa
sejarah seolah-olah mengalami peristiwa sejarah tersebut, sebagai contoh
ketika perasaan ini diungkapkan ketika sejarawan menuliskan sejarah
tentang revolusi semasa perang kemerdekaan dapat mewariskan nilai-nilai
perjuangan bangsa. Gaya Bahasa, dengan gaya bahasa yang baik dalam arti
tidak sistematis dan berbelit-belit akan sangat dimengerti, gaya bahasa
juga digunakan terkait dengan penggunaan bahasa pada zaman tertentu
seperti di zaman Orde Lama yang akrab dengan kata-kata progresif
revolusioner, ganyang, marhaenisme, nasakomisasi.
Rabu, 04 Desember 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar